Panas matahari serasa membakar bumi dan tanahnya yang kian hari kian gersang. Tak ada lagi tanaman besar yang dulu menaungi gemericik air sungai dan bebatuan. Sungai pun kini mulai kesepian karena pepohonan yang dulu tumbuh bersisian dengannya telah berganti rupa dengan tembok besi dan baja yang ketus memandanginya. Belum lagi, airnya semakin lama semakin surut. Kata burung yang tiap hari masih rajin menghampiri dirinya, hulu juga sudah mulai berkurang pasokan airnya. Apalagi pepohonan yang biasanya membantu menyimpan air hujan juga sudah tidak ada. Nasib ya nasib…
Hari ini, sungai kembali memandangi suasana sekitarnya. Pemandangan sudah tidak seindah dulu. Apalagi gunung Merapi yang dulunya dengan leluasa ia lihat sudah tertutupi bangunan-bangunan raksasa. Udaranya pun sudah tidak sesejuk dulu, sedikit-sedikit penduduk sekitar lewat dengan suara motor yang meraung atau malah truk pasir yang dengan giat menambangi pasir, mengeruk harta kekayaan alam begitu saja. Lebih heran lagi, penduduk membantunya dengan senang hati alias menjadi buruh keruk hanya untuk dua ratus ribu rupiah per truk nya. Aaaahhh,,, sungguh harga yang tidak seberapa dibandingkan dengan hilangnya kekayaan alam kita. Padahal mereka merasakan dampak dari penambangan pasir itu, yang paling jelas adalah semakin berkurangnya asupan air dan kesuburan tanah. Tapi sayang, mereka tidak sadar itu. Mungkin karena kemiskinan membutakan mereka, akhirnya mereka rela menjual tanah milik mereka sendiri hanya demi lembaran kertas lusuh bernama uang.
Sungai mulai bersedih, dia rindu dengan alamnya yang dulu. Dengan orang-orang yang dulu biasa mandi dan bermain di tubuhnya yang mengalir panjang. Atau kerbau yang juga ikut menyemarakkan suasana dengan eluhannya. Dengan burung-burung yang mencari minum tiap sore, mencicit dengan nyaringnya. Sungai benar-benar merindukan masa-masa itu yang mungkin kini sudah tidak mungkin dikembalikan lagi.
Tidak sadar mentari sore sudah mulai merona merah. Sungai melihat Pak Harjo yang masih tetap tekun mencangkul sawahnya. Sedari pagi buta Pak Harjo sudah ada di sawah, menggarap tanahnya yang memang lumayan luas. Mungkin besok dia akan mulai menanam padi kalau tanahnya sudah siap. Di pematangnya, Pak Harjo menanam kacang kapri, cabai, sawi, tomat dan beberapa jenis sayuran. Tiap beberapa hari sekali, tanaman sayur itu akan dipanen dan istrinya yang juga sudah tua akan menjualnya langsung ke pasar pagi-pagi buta. Model penjualan langsung seperti itu masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar karena apabila lewat tengkulak, harga yang ditawarkan rendah sekali. Maklum saja, mereka tidak memiliki kelompok tani yang kuat untuk mampu menciptakan pelelangan sendiri.
Harjo adalah warga Desa Surodadi yang sudah lumayan berumur dan cukup disegani. Ia sudah lahir waktu proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dikumandangkan di Jakarta. Tapi apabila ditanya, dia sendiri sudah lupa kapan tepatnya dia dilahirkan. Maklum, surat kelahiran saja tidak ada waktu itu. Semenjak lahir, pria lulusan Sekolah Rakyat di jaman Belanda ini sangat mencintai desanya. Entah karena semenjak kecil dia rajin mendengarkan pidato Soekarno yang begitu berapi-api menyatakan kecintaannya pada tanah air Indonesia ini atau mungkin memang karena suasana dan hawa di desa yang selalu menenangkannya, membuatnya tidak bisa pergi dari desa ini. Tidak seperti kebanyakan penduduk Desa Surodadi, desa kelahirannya, yang memilih merantau ke kota terdekat atau malah ke ibukota Jakarta. Pulang ke kampung halaman sudah membawa mobil mewah atau memperbaiki rumah reyotnya. Pak Harjo sama sekali tidak ingin seperti itu. Baginya bumi merupakan warisan nenek moyangnya. Mulai dari tiap jengkal tanah dan tiap tegukan airnya merupakan anugerah yang ia yakini akan memberikannya berkah apabila dimanfaatkan dengan baik. Kalaupun belum, berarti dirinya sendiri yang tidak pintar mengolah kekayaan alam sehingga hasilnya tidak bisa semelimpah yang diharapkannya.
Sungai masih ingat, semenjak kecil Pak Harjo suka main-main air bersama kerbau dan sapinya. Melewati pematang sawah dan menceburkan diri ke dalam airnya. Hari dan tahun berganti, Pak Harjo masih saja bertahan di sini. Merawat sawah dan ladang warisan orang tuanya yang sudah meninggal semenjak ia berumur 15 tahun. Dua orang saudaranya yang lain memilih merantau ke ibukota, mencari kehidupan yang lebih baik. Menjadi sopir bus dan kuli bangunan bagi mereka mungkin lebih bermartabat daripada harus mencangkul di sawah tiap hari, berkotor-kotor dengan lumpur dan juga kotoran ternak, hasilnya pun tidak bisa diharapkan apabila hama dan penyakit menyerang. Tidur di rumah reyot di pinggiran kali bagi mereka lebih elit daripada harus berkecimpung dengan lumpur yang kotor.
Anehnya, sore ini sungai melihat Pak Harjo mencangkul sawahnya sambil tersenyum. Tiap hari dia tersenyum, tapi kali ini senyumnya lebih lebar lagi. Mungkin karena cucu satu-satunya sudah mulai masuk SMA. Ardi, namanya. Anak itu tampan dan berbadan tegap seperti kakeknya. Sayangnya, nasibnya juga tidak beda jauh dengan kakeknya. Saat usianya baru menginjak 5 tahun, ayahnya, yang merupakan anak Pak Harjo satu-satunya, meninggal dalam kecelakaan kereta. Dua tahun kemudian, ibu Ardi meninggal karena sakit. Akhirnya, Ardi yang sebatang kara hidup bersama kakek neneknya yang sudah renta namun tetap bersemangat. Kecintaan Pak Harjo pada alam pun menular pada Ardi. Dengan rajin, Ardi selalu membantu Pak Harjo bertani tiap hari sepulang sekolah. Harapan Pak Harjo pada cucunya untuk bisa melanjutkan usahanya menjaga bumi semakin besar. Dia ingin Ardi menjadi sarjana pertanian sehingga bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi alam lebih banyak dari dirinya sendiri yang hanya bisa bertani. Pak Harjo kembali tersenyum seiring mentari yang mulai bersembunyi di balik ketinggian bangunan di ufuk barat sana.
***
Ardi baru saja memasuki kelas ketika Pak Amir, wali kelasnya, memanggil dan mengajaknya masuk ke ruang guru. Wajah masam Pak Amir membuat Ardi ragu untuk melangkah. Saat itu ruang guru relative sepi, hanya ada satu dua orang guru saja yang datang. Begitu masuk ke ruang guru,Pak Amir duduk di kursinya dan mempersilahkan Ardi duduk di seberangnya. Terdiam cukup lama, akhirnya Pak Amir berkata pada Ardi, “Ardi, saya sebenarnya tidak mau harus bicara seperti ini. Tapi… bagian tata usaha sudah berulang kali berpesan pada saya. Menurut laporan, kamu sudah menunggak uang SPP selama 4 bulan ya? Benarkah itu?”
Ardi semakin gelisah. Ia bingung mau berkata apa. Keringat dingin mulai menetes dari dahinya. Ia begitu mencintai sekolah barunya ini, teman dan juga gurunya. Tapi kalau sudah menyangkut biaya, Ardi juga tidak tahu harus berkata apa. Bayangan kakek dan neneknya berkelebat dalam benaknya, dengan gugup iapun berkata, “Pak Amir, saya akan segera melunasinya. Setelah sawah kakek saya panen, saya berjanji. Satu atau dua minggu lagi pasti sudah bisa dipanen”.
“Saya tidak tahu harus berkata apa, Ardi. Sekolah kita ini memang termasuk sekolah favorit dan saya tahu dengan pasti, kamu anak yang pintar. Sungguh sayang kalau semua harus dikorbankan hanya karena faktor biaya. Saya sendiri hidup pas-pasan dengan tiga orang anak saya. Sedangkan untuk beasiswa, sudah beberapa bulan ini, banyak donator yang mundur. Entah karena kondisi yang semakin sulit atau apa, saya tidak tahu. Yang penting, tolong usahakan segera, Ardi. Saya akan meminta keringanan ke bagian tata usaha untuk penundaan pembayaran. Sekarang kamu kembali saja dulu ke kelas”, kata Pak Amir. Matanya menerawang jauh mengingat anak istrinya di rumah. Susu anak-anaknya sudah habis. Tanggal terima gaji masih sekitar dua minggu lagi, uang tabungannya sudah menipis untuk berbagai biaya hidup. Ia pun menghela nafas panjang.
Ardi menatap Pak Amir dengan pandangan penuh terima kasih. Ia tahu wali kelasnya yang satu ini pasti tidak akan tinggal diam. Setelah menjabat tangan Pak Amir, Ardi berjalan menuju kelasnya dengan gontai. Beberapa temannya masih asyik bercanda, yang lain sudah sibuk menyiapkan buku untuk pelajaran berikutnya. Ardi tersenyum kecut. Buku yang dimilikinya sudah sobek di bagian sana sini, hasil pencariannya di toko loak. Tas dan sepatunya tidak pernah digantinya semenjak lama. Diantara banyak temannya, hanya dia sendirilah yang membawa sepeda ke sekolah. Tiap pagi mengayuh 20 kilometer hanya untuk pergi ke sekolah. Tapi Ardi suka sekali bersekolah. Dia menikmati setiap usaha dan peluh yang harus dikeluarkannya untuk itu. Dan dia tidak rela harus mengorbankan semua hanya karena masalah biaya. Dia teringat ayah ibunya, andai saja mereka masih hidup kini. Mungkin hidupnya tidak sesulit ini. Aaahh…Ardi teringat kakek neneknya yang begitu baik dan menyayanginya, ia begitu bersyukur memiliki dua malaikat ini dalam hidupnya. Ardi menatap ke sudut kelasnya, ada gambar Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno, inspirasinya untuk terus maju dan berjuang. Bumi dan kekayaan alamnya lah yang akan diselamatkan Ardi suatu hari nanti. Sama dengan usaha Soekarno membebaskan Indonesia dari penjajahan. Bedanya, kalau dulu penjajahan yang dilakukan begitu tampak nyata, namun kini penjajahan di negeri ini terselubung dalam bentuk penjajahan ekonomi dan ketergantungan Indonesia pada negara lain. Lama kelamaan kondisi ini akan lebih mengenaskan daripada dijajah fisiknya. Lebih menyedihkan karena saat ini bangsa Indonesia begitu terlena akan kemewahan yang menggerogotinya dari dalam tanpa sadar. Hingga waktu bangsa ini terbangun, tanah dan airnya sudah menjadi milik orang lain. Ardi terdiam.
***
Pak Harjo membasuh kakinya di tengah gemericik air sungai. Dia termenung, teringat perkataan cucunya semalam. “Ardi sudah menunggak SPP 4 bulan, kek. Kalau tidak segera dilunasi, Ardi bisa saja dikeluarkan dari sekolah”, kata Ardi, cucu kesayangannya. Pak Harjo menatap air sungai dalam-dalam. Tidak ada sesuatu yang bisa dinikmati sebenarnya, tapi entah mengapa Pak Harjo merasa bisa menghilangkan kegalauannya. Rasa sesak memenuhi dadanya, jiwanya yang begitu ingin melihat Ardi berjalan dengan toga dan jubahnya, suatu hari akan mampu menyelamatkan bumi ini dari tangan-tangan nakal akhirnya akan terhenti karena masalah uang. Sebuah benda yang bernilai hanya karena adanya kapitalisme belaka. Rasanya ia tidak rela. Untung saja padinya akan segera panen, paling tidak itu cukup untuk membayar uang sekolah Ardi dan juga untuk makan. Toh mereka sekeluarga hemat dan tidak berlebihan dalam segala sesuatunya.
Suara kendaraan membuat Pak Harjo tersadar dari lamunannya. Sebuah mobil sedan mewah berwarna keperakan berhenti tepat di jalan kecil di seberang sawahnya. Seorang lelaki berpenampilan necis keluar dari mobil keluaran Eropa itu. Di belakang pria itu, berjalan Paidi, tetangga sebelah rumahnya yang tertawa senang. Begitu melihat Pak Harjo, Paidi segera berteriak, “Pak Harjo, niki lho, wonten ingkang nggoleki![2]” . Pak Harjo diam saja. Dia sudah hapal dengan lelaki necis satu ini. Edwin, seorang kontraktor terkenal dari Jakarta yang sudah selama beberapa bulan ini merayunya untuk menjual sawah miliknya. Pak Harjo selalu menolak bahkan setelah tetangga yang memiliki sawah di sekitar miliknya sudah terjual pada Edwin, hanya dirinya lah yang tetap teguh pada keyakinan untuk tidak menjual sawahnya.
“Selamat sore, Pak Harjo. Apa kabar?” sapa pria bernama Edwin tadi sembari mengulurkan tangan pada Pak Harjo. Pak Harjo membalas uluran tangannya dan kemudian berkata pada Paidi dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti, “Bali wae rapopo, Di. Aku meh ngomong-ngomong karo Pak Edwin iki”[3].
“Inggih, Pak Harjo. Kulo pamit rumiyin. Mari Pak Edwin, saya pulang dulu”[4], kata Paidi gugup sembari berjalan meninggalkan mereka berdua. Pak Harjo takut Paidi akan ikut campur seperti tempo hari dan mengompor-ngomporinya untuk menjual tanahnya pada Edwin. Iming-iming komisi besar rupanya ditawarkan Edwin pada pria kurus beranak lima itu untuk membujuk Pak Harjo menjual sawahnya. Pak Harjo menatap Edwin, lelaki peranakan berperawakan gemuk ini nampak menyenangkan sebenarnya kalau dia tidak terus menerus merongrong Pak Harjo untuk menjual sawahnya.
“Pak Harjo pasti sudah tahu maksud kedatangan saya kesini bukan?” kata Edwin dengan tenang. Sesuai dengan penjelasannya beberapa bulan lalu, lokasi sawah Pak Harjo dan beberapa lahan di sekitarnya cukup strategis, pemandangannya pun indah karena dibayangi gunung di kejauhan. Di sini akan dibangun menjadi sebuah resort yang megah dan indah, tentu saja dengan suasana pedesaan sebagai nilai jualnya. Apalagi dengan sungai yang ada di sana akan menambah kenyamanan pengunjung. Resort itu akan dibangun dengan fasilitas kelas satu. Luas dengan lapangan golf yang memiliki pemandangan langsung ke gunung pasti akan menimbulkan daya tarik bagi para pecintanya. Sudah bisa dipastikan kalau resort ini akan menjadi primadona di kalangan kelas atas.
Pak Harjo diam saja, pikirannya melayang kemana-mana. Dengan uang yang ditawarkan, sebenarnya dia bisa dengan tenang membayar uang sekolah Ardi bahkan mungkin hingga ia kuliah. Tapi bagaimana dengan sawah warisan orang tuanya yang telah dijaganya sejak berpuluh tahun lalu? Di atas setiap jengkal tanah yang sudah dijaganya akan dibangun resort megah? Lalu bagaimana dengan tanaman padinya dan dengan orang-orang yang membutuhkan padi untuk dimakan sehari-harinya? Bagaimana dengan negara ini? Apakah harus menggantungkan diri dari impor beras dari negara lain? Sungguhkan negara Indonesia yang begitu kaya ini harus bergantung pada negara lain? Pak Harjo menggeng-gelengkan kepalanya.
“Pak Edwin, sudah berapa kali saya bilang? Saya tidak mau menjual negeri saya. Sama juga dengan saya tidak mau tanah air saya ini berpindah ke tangan lain yang saya tahu tidak akan mampu menjaganya sebaik saya menjaganya. Selamat sore”, kata Pak Harjo. Tubuh rentanya berdiri sedikit terhuyung dan ia pun pergi meninggalkan kontraktor itu sendiri. Edwin pun menatap Pak Harjo yang berjalan menjauh sambil memanggul paculnya. Tubuh tuanya itu tidak mau dikalahkan usia. Edwin merasa bangga dengan sikap Pak Harjo, di negeri ini sungguh langka apabila masih ada orang seperti ini. Tapi apa mau dikata, pekerjaan tetap pekerjaan. Sesulit apapun akan tetap diusahakannya demi kesuksesan karirnya di masa depan. Edwin pun beranjak dari sana dan berjanji akan datang lagi keesokan harinya.
****
Ardi gelisah, dia bingung harus bagaimana. Neneknya sedari tadi muntah. Makanan yang baru disantap tadi siang dikeluarkannya begitu saja. Masuk angin, rasanya tidak seperti ini. Apalagi neneknya merupakan wanita terkuat yang pernah ia kenal. Tidak mungkin ambruk karena masuk angin. Aaahh,,,kakeknya tidak juga pulang. Ardi semakin takut saja. Sudah dikompresnya dahi nenek dengan lap dingin, tapi demamnya tidak juga turun. Suara pintu dibuka membuat Ardi menghambur. Kakeknya sudah pulang. “Kek, kakek. Nenek sakit. Ardi bingung harus bagaimana. Sudah sedari tadi muntah terus, demamnya juga tidak turun”.
Pak Harjo segera menemui istrinya. Wajahnya memang pucat tadi siang sewaktu mengatarkan makanan, tapi ia tidak berfikir macam-macam. Wanita yang telah setia menemaninya selama puluhan tahun itu nampak lemah. Keringat membanjiri seluruh tubuh wanita tua itu. Badan Pak Harjo benar-benar terasa lunglai, dia terduduk kaku di samping tempat tidur. Beban sebesar gunung terasa berat menghimpit tubuhnya. “Bawa nenek ke rumah sakit”, katanya. Ardi mengangguk lemah.
***
Pak Harjo memandang sawahnya yang luas. Warna hijau kekuningan yang kemarin nampak indah menghilangkan penatnya selama empat bulan menggarap sawah kini sirna sudah. Tikus memporakporandakan sawahnya dalam semalam. Tepat di saat dia benar-benar membutuhkan uang hasil panen.
Pak Harjo terduduk lesu di atas bebatuan kali sambil menerawang jauh. Dia teringat uang sekolah Ardi yang belum dibayar. Ia teringat istrinya yang terbaring lemah di rumah sakit dengan maag akut menyerang lambung dan ususnya. Ia teringat Edwin yang selalu menunggunya menjual sawahnya. Dia teringat anaknya yang sudah meninggal. Dia teringat kedua saudaranya yang seumur hidupnya menjadi sopir bis dan kuli bangunan. Dia teringat ayah dan ibunya yang telah lama meninggal. Dia tidak tahu apa yang haris disisakan dari dirinya untuk cucu dan cicitnya kelak. Sepetak sawah ini atau rumah dan benda mewah lain? Apa yang akan ditinggalkannya untuk bangsa ini? Alam yang masih asri atau bangunan yang megah menjulang? Dia malu pada Tuhan, pada alam ini, pada orang tuanya. Dia tak tahu akan bicara apa saat maut menjemput nanti apabila ditanya “Apa yang sudah kau berikan pada bangsa ini?” Pak Harjo benar-benar malu.
***
Sungai bergemericik pelan. Dia tidak mau mengganggu Pak Harjo yang kali ini nampak murung. Tadi sore dilihatnya pria renta itu menangis perlahan memandangi sawahnya. Dilihatnya juga Pak Edwin yang seringkali datang membujuk Pak Harjo untuk menjual sawahnya. Mereka berdua bercakap perlahan selama berjam-jam, sungai tak bisa mendengarnya. Dilihatnya Pak Harjo memandangi tiap jengkal tanah sawahnya. Pak Harjo memandanginya dengan sedih. Dia lalu duduk di atas bebatuan sungai dan kemudian mencelupkan tangan dan membasuh wajahnya dengan air. Dia menghela nafas perlahan. Air matanya menetes sekali lagi. Lalu Pak Harjo pergi. Punggungnya menjauh perlahan dari keremangan cahaya senja. Sungai merasa takut kali ini. Ia bertanya-tanya apakah ia bisa melihat Pak Harjo di lain hari nanti? Rasa pilu melihat kesedihan orang yang selama puluhan tahun nampak ceria menggarap sawah di samping aliran sungainya. Namun punggung Pak Harjo sudah mulai menghilang ditelan gelapnya senja sore itu.
Dan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.
[1] Favorit story dalam Adu Kreasi 2008 Departemen Pertanian Indonesia
[2] Bahasa Jawa. Artinya: “Pak Harjo, ini ada yang mencari!”
[3] Bahasa Jawa. Artinya: “Pulang saja, Di. Aku ingin ngobrol dengan Pak Edwin”.
[4] Bahasa Jawa. Artinya: “Iya, Pak Harjo. Saya pamit dulu. Mari Pak Edwin, saya pulang dulu”.

Leave a comment