Badanku terasa kaku, bibirku kebiruan dan tubuhku menggigil kedinginan. Rasanya sakit sekali seakan disayat dengan ribuan pisau tajam. Tubuhku mengejang. Ibuku menangis memilukan, entah apa yang ditangisinya. Adikku, Bagas, juga ikut menangis dalam pelukan ibu. Bapak termangu di sudut tenda. Aku nggak ingat apa-apa. Yang aku ingat hanya kejadian tadi siang saat gempa mengguncang rumah dengan keras. Berawal dari suara sekeras deru pesawat terbang. Sampai-sampai aku pikir ada pesawat mendarat di depan rumah. Tapi rasanya tidak mungkin. Setelah tanah di bawahku bergetar keras dan menjatuhkan buku-buku di rak, merontokkan genteng dan juga tembok, aku baru sadar kalau itu gempa. Setelah itu memoriku hilang. Semua tiba-tiba menjadi gelap dan sekarang tiba-tiba aku terbangun di sini, di dalam tenda pengungsian bersama keluarga dan orang-orang kampungku. Aku nggak ngerti kenapa mereka menangis? Aku berteriak memanggil ibuku. Kenapa ibu diam saja? Badanku semakin dingin dan udara malam semakin gelap. Mendung menggelayuti langit malam Jogja dan jutaan kepedihan di dalamnya.
[[[
Malam itu, Jumat, 26 Mei 2006, aku tiduran di ruang TV bersama ibuku. Mataku terasa berat dan badanku juga pegal-pegal karena sedari tadi siang aku bermain lompat tali bersama Tari, tetangga sekaligus teman mainku semenjak kecil. Ibu menonton televisi sembari terkantuk-kantuk. Kami sedang menunggu bapak yang belum juga pulang ke rumah sejak dari pagi. Mungkin hari ini becaknya sepi penumpang, seperti biasanya…
“Ambilkan ibu minyak putih di kamar, Nduk!” kata Ibu. Malas sekali rasanya badan ini harus berjalan sampai di kamar. Aku cemberut. Kenapa juga ibu nggak ambil sendiri sih, pikirku.
“Ambil sendiri, Bu! Dini capek!” jawabku. Aku tahu ibu juga letih karena seharian tadi berjualan di pasar. Ibu diam saja sekarang. Wajahnya tampak letih sekali. Mungkin juga karena sedang masuk angin sehingga nampak pucat pasi. Aku lalu beranjak ke kamar, tidur menyusul Bagas yang sudah terlelap dari tadi. Aku masih sekamar dengan Bagas padahal aku sudah kelas 6 SD dan Bagas sudah masuk kelas 1 SD. Aku sebenarnya malu tidur sekamar dengan Bagas tapi apa daya, rumah kami, bukan, kontrakan kami sempit sekali. Hanya ada dua kamar tidur dan satu ruang tamu yang sekaligus sebagai dapur dan ruang TV.
“Nduk…Shalat Isya dulu!!” teriak Ibuku dari ruang depan.
“Nanti aja, Bu! Dini udah ngantuk banget!!”
“Allah ndak bisa nunggu sampai nanti, Nduk!” kata Ibuku. Tapi aku sudah terlelap. Setelah kepalaku menyentuh bantal, mataku seperti disihir. Tidak sampai lima menit aku sudah tertidur pulas. Tapi aku masih mendengar suara decit rem becak milik bapak. Decit remnya bisa terdengar dari ujung gang sempit rumah kami. Bapak masuk rumah dan ibu seperti biasa pasti berdiri dan tersenyum pada bapak. Aku hapal sekali adegan ini. Seperti aku menghapal adegan film kesukaanku.
“Hari ini sepi, Bune…Piye iki!” keluh Bapak. Aku bisa mendengar keputusasaan dalam nada suaranya, “Skarang orang malu naik becak, Bune. Dipikir kalau naik becak itu pasti ndeso, miskin. Orang skarang milih naik taksi yang bagus-bagus kalau ndak yo beli mobil apa motor kredit. Becak nanti lama-lama punah, Bune. Termasuk keluarga tukang becak kayak kita ini, Bune!”
“Wis to! Gak pa-pa, Pakne. Alhamdulillah kita masih bisa makan. Bersyukur wae..” jawab Ibuku.
“Tapi kita jadinya ndak bisa mbeliin sepeda si Dini…”
“Wis! Ndak usah dipikir! Skarang Bapak istirahat mawon!”
Mendengar percakapan itu hatiku perih sekali. Bukannya aku nggak tahu kesulitan keluargaku, aku hanya pengen membungkam mulut teman-temanku yang sombong itu! Aku cuma iri! Besok pagi aku akan bilang sama bapak kalau bapak nggak perlu mbeliin sepeda buat Dini. Dini udah bangga punya bapak kayak bapaknya Dini dan punya ibu kayak ibunya Dini. Dini udah nggak butuh sepeda lagi. Besok Dini bakal bilang ke mereka.
[[[
Hari itu Dewi, teman satu kelasku naik sepeda baru ke sekolah. Sepeda itu bagus sekali. Warnanya merah dengan keranjang kecil di bagian depannya dan bel kecil yang nyaring bunyinya. Sepeda itu persis dengan sepeda yang diiklankan di TV. Sepeda itu yang selalu aku idam-idamkan sejak dulu. Sepulang sekolah, aku langsung mencari ibuku ke pasar. Aku minta sepeda baru. Ibu cuma diam saja. Nanti kalau ada rejeki, katanya. Tapi kok rasanya kami sekeluarga nggak pernah dapat rejeki. Nggak kayak temen-temenku yang lain yang tinggal di rumah-rumah yang bagus, punya sepatu baru tiap tahun ajaran berganti atau seperti Dewi yang dibelikan sepeda baru sebagai hadiah ulang tahunnya. Semua barang yang aku punya barang bekas. Ada juga yang diberi saudara jauh ibu di kota lain. Kenapa aku nggak pernah punya baju baru? Bahkan baju seragam sekolah saja pemberian tetangga sebelah yang baru saja lulus. Warnanya sudah kusam dan ada beberapa bagian yang sudah koyak. Aku capek jadi orang miskin! Aku pengen seperti teman-temanku yang lain! Aku pengen punya barang yang bukan barang bekas!
Hari itu aku marah pada bapak dan ibu seharian penuh.
[[[
Aku bangun kesiangan hari ini. Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul 05.30 saat aku keluar dari kamar. Rumah kosong. Pasti bapak sudah pergi ke pasar mengantar ibu. Dan kalau Bagas tidak ada berarti dia juga ikut ke pasar. Hari ini kelas satu sampai lima libur karena digunakan untuk persiapan ujian kelas enam. Hanya kelas enam saja yang masuk karena harus latihan soal-soal untuk ujian.
Aku segera mengambil air wudlu untuk shalat Shubuh. Selesai shalat aku segera mandi dan berganti pakaian. Sewaktu menyisir rambut, aku mendengar suara gemuruh hebat. Lantai di bawah kakiku bergetar hebat. Aku terlempar ke sudut ruangan, menabrak lemari lalu jatuh ke lantai. Jam dinding di kamarku terjatuh. Kaca jendelaku pecah. Ada apa ini? Kenapa tanah bergoncang sedemikian hebatnya? Astaghfirullah, kataku. Hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulutku sebelum benda-benda yang lain ikut ambruk. Segurat perih bersarang di kepalaku, lalu gelap. Duniaku hitam. Kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.
[[[
Dua orang lelaki itu mendatangiku. Menepuk bahuuku dengan halus. Walaupun sekujur tubuhku perih seperti disayat namun aku merasa tenang setelah melihat dua orang ini. Aku ralat. Dua orang ini tidak seperti pria biasa. Tubuhnya bercahaya terang menyilaukan. Setelah muncul cahaya yang terang sekali lalu semua menjadi gelap dan berputar-putar.
Aku terbangun lagi. Sekarang aku berada di sebuah ruangan gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Bau anyir ada dimana-mana sampai-sampai aku mau muntah. Aku ingin berteriak tapi tidak bisa. Tubuhku terikat erat. Dingin sekali. Aku tidak tidur di atas kasur. Tidak ada bantal juga. Lalu dimana aku sekarang? Tidak ada suara apapun di sini. Sepi sekali. Aku merasakan sesuatu di wajahku. Cacing tanah. Aku berteriak tapi tidak ada suara yang keluar.
[[[
Pak Darno berlari menghampiri rumahnya. Dilihatnya dari kejauhan kampung tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Istrinya berjalan terseok-seok di belakangnya. Kakinya tertimpa genteng yang berjatuhan saat gempa tadi. Bagas, anaknya selamat. Sewaktu gempa terjadi, dia, istri dan anaknya berada di pasar. Untunglah keduanya bisa diselamatkan. Orang-orang di pasar berteriak-teriak minta ampun pada junjungan mereka. Ibu-ibu menangis. Pak Darno tidak sempat menyelamatkan barang dagangan istrinya. Yang dia ingat hanya melindungi dua orang kesayangannya dari gempa juga hujan genteng dan tembok di pasar. Setelah gempa reda, Pak Darno teringat satu lagi anak kesayangannya di rumah sendirian.
“Dini, Pak! Dini…Dini…” teriak istrinya sambil menangis dan memeluk Bagas. Pak Darno segera berlari menuju becaknya yang masih utuh. Untung saja becak itu diparkirnya di pinggir jalan raya sehingga tidak tertimpa bangunan. Dikayuhnya becaknya kuat-kuat. Darah yang menetes dari kaki tidak dihiraukannya. Yang dia ingat hanyalah putri kesayangannya. Istrinya dan Bagas yang ada di boncengan depan becaknya menangis. Di perjalanan, gempa masih terasa sesekali. Jalan aspal yang dilaluinya retak-retak. Dia semakin ketakutan. Sampai di ujung gang sempit di ujung gang rumahnya, Pak Darno segera berlari kencang-kencang. Kampungnya rusak parah. Tetangganya banyak yang terluka. Mereka terduduk dan menangis di depan rumah masing-masing. Rumah mereka rata dengan tanah. Ada beberapa korban luka yang terbujur di depan rumah. Entah pingsan atau malah sudah menjadi mayat.
“Din..Dini..” teriak Pak Narto. Rumahnya rata dengan tanah. Kaca-kaca berserakan dimana-mana. Tembok ambruk, bata-bata bertebaran. Dilihatnya pesawat TV-nya remuk. Pak Darno mencari anaknya. Berharap semoga anaknya berhasil lari dari reruntuhan ini. Semoga Dini sudah keluar saat gempa berlangsung. Semoga Dini sudah bangun saat itu. Semoga Dini sudah selesai mandi. Semoga Dinni sudah berangkat sekolah. Semoga…Semoga…
Tapi harapannya sirna saat melihat sesosok tubuh memakai baju seragam merah putih bersimbah darah. Dia menelungkup di dekat lemari. Ironisnya lemari itu masih tegap berdiri dan anaknya tidak. Ditariknya tubuh mungil itu dari reruntuhan tembok. Astaghfirullah…Kepalanya penuh darah. Darah itu begitu merah dan mengucur deras dari kepala mungil itu. Bau anyir darah dimana-mana.
“Din..Bangun, Nak!! Din…Ini Bapak, Nak!!” kata Pak Darno terisak. Air matanya mengalir deras. Tubuh putrinya lunglai. Darah segar juga keluar dari telinga, hidung dan mulutnya. Dipanggil berapa kalipun juga Dini tidak akan pernah menyahut karena dia telah diambil oleh Sesuatu yang lebih berkuasa dari makhluk apapun. Dini sudah tidak bisa menyahut lagi untuk selamanya.
[[[
Aku sekarang ada di dalam sebuah tenda sempit. Ada beberapa orang tetanggaku juga keluargaku. Tapi anehnya ketika aku mencoba memanggil mereka semua, tidak ada seorang pun yang menyahut. Semakin aku berteriak, suaraku malah semakin menghilang ditelan malam. Padahal tubuhku semakin pucat dan menggigil kedinginan. Aku takut sekali. Aku takut sendirian.
Aku berusaha menggapai ibu. Aku ingin minta maaf karena selama ini aku selalu tidak patuh pada ibu. Aku selalu saja menolak ketika ibu minta tolong. Aku berjanji akan menurut pada ibu mulai sekarang. Aku sayang ibu, sayaaaang sekali. Lebih dari apapun…
Aku berteriak pada bapak. Tapi bapak diam saja. Termangu seperti kehilangan semangat hidup. Pak, kalau bapak mendengar, aku pengen bilang kalau aku udah nggak pengen lagi sepeda baru. Aku nggak pengen lagi sepatu seperti milik Dewi atau kalung seperti milik Ira. Aku sayang bapak. Aku tidak ingin bapak jatuh sakit hanya karena harus narik becak sampai kecapekan.
Aku memanggil Bagas. Tapi Bagas juga diam saja. Sepertinya pandangan bocah itu menerawang jauh sekali. Aku berjanji kalau aku nggak akan lagi bertengkar sama Bagas. Dik, kamu denger Mbak ngomong nggak? Mbak sayang Bagas…
[[[
Dini tetep nggak ngerti apa yang terjadi. Dia nggak ngerti kalau alamnya udah berbeda dengan mereka. Kenapa anak semuda dan sepolos itu Kau ambil, Tuhan?
“Pak, Dini..Dini…huhuhu..” tangis Ibu. Bagas semakin deras air matanya. Bapak juga basah matanya.
“Sudah, Bune! Dini sudah diambil Gusti. Yang ikhlas, Bune!” kata Bapakku berusaha menenangkan Ibu. Nggak, Pak! Dini di sini. Dini nggak pergi kemana-mana. Dini tetep sama bapak, sama ibu, sama Bagas. Dini nggak mau kemana-mana. Namun ketika tubuhnya semakin dingin dan suaranya tetap nggak bisa didengar bapak dan ibunya, Dini mulai ketakutan. Jangan-jangan dia memang mati? Dini takut sekali. Apalagi ketika dilihatnya dua orang lelaki bercahaya tadi datang mengahampirinya. Kali ini Dini sadar ketika melihat mereka berdua ternyata tidak berjalan di atas tanah tapi terbang melalui awan-awan yang indah sekali.
“Nggak, Dini nggak mau pergi! Dini pengen di sini sama bapak dan ibu!” teriak Dini. Namun dua orang lelaki itu hanya tersenyum lalu membawanya terbang pelan-pelan. Dini ingin menangis, tapi air matanya sudah tidak bisa lagi keluar. Dini pasrah sekarang. Dini menyesal sekarang kenapa dia nggak minta maaf sama bapak dan ibunya malam itu juga. Kenapa harus menunggu hari esok? Kenapa harus menunda semuanya. Dini nggak tahu kalau hari esoknya tidak pernah ada lagi. Dini nyesel.
Kalau saja hari esok masih ada, Allah…
Mungkinkah Dini memperbaiki semua sikap Dini?
Kalau hari esok masih ada, Allah…
Bisakah Dini meminta maaf pada Bapak dan Ibu?
Kalau hari esok masih ada, Allah…
Dini pasti menjadi anak yang paling berbakti sedunia.
Dan satu hal lagi, Allah..
Kalau hari esok masih ada, Dini mau minta maaf sama Allah
Karena Dini belum shalat Isya tadi malam…
SELESAI
[1] Nominator in Creative Writing Indonesia 2006 which is held by Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Negara dan Olahraga.

Leave a comment