Matahari Di Atas Langit Jawa

CategorIes:

By

·

8–13 minutes

Salim menatap lekat ke ujung jalan. Dimana terletak sebuah toko kelontong dengan ukuran mini dengan isinya yang tiada duanya. Mungkin malah mengalahkan perlengkapan supermarket paling besar di kota Gudeg ini. Di bagian paling depan tertata beras, ketan, kacang dan macam-macam sembako lainnya. Sebuah etalase lain memuat susu, kopi, gula pasir, terigu, buku tulis, pulpen, rokok, baterai hingga jepit rambut. Sedangkan di bagian paling belakang toko terdapat rak besar berisi beragam dupa, mulai dari yang kecil hingga raksasa, dari aroma lavender hingga strawberry. Semua campur menjadi satu di situ. Di bagian paling pojok toko memang disediakan untuk tempat alat-alat sembahyang yang diperjualbelikan. Selain itu masih juga terdapat uang-uangan, lampion, lilin, dan berbagai perlengkapan lain. Di bagian kanan toko, di atas meja kasir, terletak sebuah dupa sembahyang dan patung miniatur Kwan Kong yang menjadi sesembahan keluarganya. Sangat berbakti, itu satu-satunya yang terlintas di benak Salim mengingat keluarganya. Sebuah masalah besar menjadi bebannya demi menghadapi semua kebaktian itu.
”Liiim…Liiimm..,” sebuah teriakan membuncah lamunan Salim. Suara nyaring itu pastilah ibunya yang sedari tadi sibuk melayani pembeli. Aahh… ibunya yang begitu tegas namun berhati lembut. Tubuh ibunya yang agak gemuk dengan rambut dipotong pendek itu dengan gesit melayani pembelinya. Salim terburu-buru memakai sendal jepit yang dilepasnya saat duduk-duduk di lincak di pinggir jalan kecil di depan tokonya, yang sekaligus merupakan rumahnya. Tergesa dengan setengah berlari Salim menghampiri ibunya dan mulai membereskan barang belanjaan beberapa pembeli yang ramai memadati tokonya sore itu. Senja memerah, beberapa orang yang tadi berkerumun mulai meninggalkan toko Sumber Hidup, toko yang dulu dibuka oleh kakek buyut Salim, entah pada tahun berapa. Yang jelas, saat ini Salim, ibunya dan juga adiknya lah yang mengurusi semuanya. Sementara ayah Salim sendiri baru saja meninggal beberapa bulan lalu. Tidur dan tidak bangun lagi setelah asyik ngobrol dengan Salim di depan televisi, membicarakan rencana masa depan Salim dan kemudian ayahnya pun tiada. Begitu mendadak.
Ibunya kemudian duduk di kursi di depan meja kasir. Sembari mengusap peluhnya ibunya masih berkata dengan nada sedikit sewot, ”Mama ndak tahu dimana itu si Wawan, tadi bilang mau pergi sebentar mencari makan. Sampai sekarang belum pulang juga. Heran Mama sama dia, pemalasnya bukan main”. Omel mamanya dengan logat kentalnya.
”Sudahlah, Ma. Wawan mungkin capek sedari tadi pagi sudah membuka toko. Istrinya baru saja melahirkan juga khan?” ujar Salim menenangkan ibunya. Kalau sudah kelelahan, ibunya memang gampang marah-marah seperti layaknya kerbau dicucuk hidungnya. ”Lalu mana si Yono, Ma?” tanya Salim pada mamanya yang mulai menggeser-geser barang dagangan ke tempatnya semula. Nampaknya pembeli yang tadi membuat toko kecil itu semakin amburadul saja.
”Yono? Ndak tahu Mama juga. Katanya sakit. Sudah dua hari ini dia ndak masuk, jadi Wawan yang menggantikan kerjaannya”, kata ibunya bersungut-sungut. Salim hanya tersenyum melihat mamanya, ”Ya sudah, Ma. Tutup saja tokonya. Mama capek bukan?”
”Tutup, Lim? Ini baru jam berapa? Baru habis maghrib. Oh, iya. Sudah shalat kau, Lim?“ kata ibunya. Salim menepuk jidatnya, ”Astagfirullah , Ma. Belum. Salim shalat dulu, setelah itu biar Salim yang menjaga toko. Mama nanti istirahat saja”. Mamanya tersenyum. Salim segera masuk ke belakang dan mengambil air wudlu. Bismillahirahmannirahim ..Dibasuhnya satu demi satu, mulai dari mulut, hidung, muka, rambut, telinga, tangan dan kaki dengan air yang mengucur deras dari keran. Diambilnya sajadah yang berada dalam kotak kecil di pojok kamarnya. Semenjak satu tahun lalu, kotak yang dulu merupakan wadah hio dan patung Kwan Kong sudah berganti dengan sarung, sajadah, tasbih dan Al Qur’an kecil. Setahun itu pula dirasakannya sebuah perbedaan, seperti angin semilir mengalir dalam hatinya, nada-nada kecil bernyanyi dalam setiap harinya serta sebuah mata bening yang selalu menemani mimpi-mimpinya.
”Allahu Akbar …”, Salim pun mulai menjalani irama nada kehidupannya kini. Yang pada awalnya ditentang banyak anggota keluarga besarnya. Hanya ibunya yang saat itu mau berusaha mengerti cara berfikir Salim. Ayahnya tidak mau bertegur sapa dengan Salim selama dua bulan dan Ling, adiknya, benar-benar heran pada apa yang dikerjakan Salim. ”Kokoh benar-benar membingungkan Ling. Apa yang kokoh lihat pada sosok gadis itu? Hingga kemudian kokoh meninggalkan leluhur kita?” kata Ling suatu malam padanya dengan muka heran, marah sekaligus menangis. Gadis berusia 20 tahun yang sedari dulu begitu manja pada Salim, kini terguguk menangis di depannya. Bagi Ling, Salim adalah kakak yang sempurna, yang selalu bisa memberinya nasehat dan juga membuatnya tertawa. Semenjak kecil, Ling selalu mengandalkannya untuk semua masalah, satu-satunya orang kepercayaan Ling di dunia, katanya. Kini ketika Salim mengubah arah lajunya, Ling seolah kehilangan kemudi perahunya dan terseret arus ke tengah laut. Salim hanya diam saja mendengarnya. Berat sekali menjalani hari-hari seperti itu. Marah, kecewa dan konflik ada di manapun Salim melangkah. Salim hampir tak kuat, namun mata bening itu lagi-lagi mendatangi Salim dalam mimpinya.
******
Pagi itu, Salim membuka toko dan kemudian menata barang. Yono, pria setengah baya yang selama hampir 5 tahun membantu keluarganya mulai mengeluarkan barang dagangan. Nampaknya dia masih agak loyo namun sudah sehat, sedikit-sedikit dia minum air putih dalam botol yang dibawanya dari rumah. Tepat jam 9, Salim mengemasi barang-barangnya sendiri dan kemudian pamit pada mamanya, ”Salim berangkat dulu, Ma”.
Mamanya sudah nampak segar, garis-garis keletihan sudah mulai menghilang dari raut wajahnya. ”Hati-hati, Nak. Doa mama bersamamu”, kata mamanya lagi dengan pandangan yang sulit diartikan Salim.
”Iya, Ma. Assalamualaikum ”, kata Salim.
”Waalaikum salam ”, jawab Yono dan kemudian Salim sudah melesat bersama motor kebanggannya, hasil kerja kerasnya di bengkel miliknya sendiri. Motor Salim menuju ke arah timur dan kemudian setelah melewati kantor pos paling besar di kotanya, ia pun berbelok ke selatan dan terus mengendara dengan kencang. Sampai di depan sebuah rumah yang sederhana, Salim menghentikan motornya. Diparkirnya motor itu di halaman rumah dan kemudian dibukanya helm dan dirapikan rambutnya yang berantakan. Rumah itu kecil namun kelihatan asri. Beberapa tanaman dengan subur tumbuh di depan rumahnya. Di sudut halaman ada seorang ibu sedang menyapu dan ketika melihatnya ibu itu langsung tersenyum.
”Assalamualaikum, Bu”, kata Salim sambil mengulurkan tangan dan mencium tangan si ibu tadi. ”Waalaikum salam, Lim. Wanda sudah siap-siap dari tadi. Tunggu saja di dalam, Nak. Monggo ..Monggo”, kata si ibu yang kemudian membuat Salim masuk ke ruang tamu rumahnya yang kecil, berbentuk kotak dengan sofa yang separoh butut. Warnanya yang hijau mulai memudar dan beberapa bagiannya nampak berjerabut. Di sudut ruang, ada beberapa deret foto keluarga. Ayah, ibu dan seorang anaknya yang kelihatannya baru berumur 10 tahun tertawa lebar. Lalu foto seorang anak perempuan, mungkin usianya sama dengan Ling saat itu, memakai baju berwarna biru dan berpose bak foto model. Gadis yang wajahnya ada di foto itu pun kemudian muncul dari kamarnya, dia tersenyum pada Salim. Hati Salim mencelos, jantungnya berdegup. Sudah tujuh tahun Salim mengenalnya dan senyum gadis itu tetap membuat jantungnya berdentang. Mata gadis itu yang begitu besar, berbeda dengannya. Binarnya mengalahkan binar cahaya mentari pagi yang paling terang sekalipun. Jilbab berwarna putih yang dikenakannnya pagi itu senada dengan warna baju yang dikenakannya.
”Mas sudah lama menunggu?” tanya gadis itu sembari membenarkan tas di bahunya.
”Baru saja Mas datang, sudah siap, Nda?” kata Salim. Gadis yang bernama Wanda itupun mengangguk dan kemudian mereka berdua pun melaju dengan motor Salim. Gadis yang dibonceng Salim itu bercerita dengan bersemangat. Tingkahnya yang lugu dan apa adanya membuat Salim begitu terpesona. Aneh melihat mereka berdua berjalan beriringan, kata teman-temannya di kampus. Yang satu nampak begitu alim dan yang satunya lebih cocok menjadi tukang kredit. Candaan itu yang selalu digemakan teman-teman di kampus, tidak ada yang percaya kalau kemudian mereka berdua berpacaran. Terlalu banyak perbedaan yang ingin diterabas berdua. Wanda selalu yakin dengan apa yang dijalaninya, sementara Salim yang awalnya yakin lama kelamaan mulai digerogoti keraguan akan hubungannya. Salim terjerembab terlalu dalam.
Awalnya dia hanya mengagumi sosok Wanda yang pintar dan bersahaja, kemudian dia pun mulai asyik berdiskusi dengannya hari demi hari. Lama kelamaan dia melihat banyak hal dari Wanda dan dia pun tersadar dan terheran-heran ketika dia jatuh cinta. Salim tidak pernah jatuh cinta pada tipe gadis seperti ini. Salim lebih suka gadis yang berani seperti Lucy, atau yang tomboi seperti Eva, atau mungkin yang pintar menari salsa seperti pacarnya yang terakhir, Lidya. Kesemuanya tidak ada persamaan dengan Wanda. Berkerudung, pendiam, terlalu pintar dan kritis, serta satu lagi, terlalu baik. Keraguan mulai muncul pada diri Salim, selangkah demi selangkah dia mundur dari Wanda. Wanda kaget namun dia hanya bisa diam. Wanda sadar, terlalu banyak hal yang harus diperjuangkan demi menyatukan mereka. Wanda siap, tapi buat apa kalau pasangannya tidak siap. Setahun lebih mereka berdiam diri, Wanda menyibukkan diri dalam organisasi kampusnya dan Salim sibuk membuka usaha yang baru saja dirintisnya.
Suatu ketika, entah kenapa mereka bertemu lagi dan kembali lagi membangun apa yang dulu hilang. Salim mulai mau menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Ayah Wanda, awalnya tidak mau anak semata wayangnya dekat dengan Salim. ”Apa jadinya anakku nanti dengan orang seperti kamu?” kata ayah Wanda yang memang berwajah sangar dan berbadan besar. Salim hanya diam saja, dia tidak berkata apa-apa. Hanya tingkah lakunya yang menunjukkan keteguhannya pada pendiriannya selama ini. Wanda pun keras kepala dengan keinginannya sendiri dan orang tua Wanda mulai luluh juga.
Baru tahun lalu, Salim melihat banyak hal yang lebih dalam lagi. Ritual shalat Wanda yang dulu dilihatnya sebagai suatu keunikan tersendiri, kini menarik hatinya. Sujudnya, rukuknya, semuanya menggetarkan hati Salim. Ayat-ayat Al Quran yang dulu tidak dimengertinya, mulai dibongkarnya. Hingga saat ini Salim belum bisa membaca tulisan Arab, tapi sedikit banyak dia bisa berkata alhamdulillah , subhanallah dan sebagainya. Ketika Salim memutuskan berpindah keyakinan, giliran keluarganya yang marah besar. Wanda lah yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Melunaknya keluarga Salim baru ketika ibunya dengan sikap pengertian nampak ikhlas akan keputusan Salim. ”Papa tidak bisa memaksakan keinginan seseorang. Dulu ketika Salim masih kecil, Papa sendiri yang bilang bahwa kita orang harus membiarkan anak-anak kita memilih jalannya sendiri, walau pun konsekuensinya berat. Kalau itu yang terbaik buat Salim, kenapa kita tidak mau menerima?” kata ibu Salim pada suami dan juga kakek Salim setelah perdebatan panjang mereka di meja makan. Lampion merah masih terpasang dan angpao setelah Imlek pun masih tergeletak di meja. Salim menunduk, dia tidak mau memulai perdebatan panjang dengan keluarganya. Sup asparagus di mangkuk besar masih mengepulkan asap. Kakeknya hanya menyendokkan sup ke dalam mangkok kecil dan kemudian diberikannya pada Salim tanpa berkata apa-apa. ”Makasih, Kung”, kata Salim yang kemudian lega dibuatnya.
Kini, ketika menuju ke sebuah kantor di tengah kota, dada Salim membuncah. Tidak ada lagi beban berat tergantung di pundaknya. Semua restu sudah didapatnya. Keluarganya dan keluarga Wanda pun semua sudah mempersiapkan diri. Ribut-ribut kecil yang selalu menghiasi kisah Salim dan Wanda pun sudah hampir berlalu memasuki satu babak lagi yang mereka impikan dari dulu. Usaha kecil Salim yang bergerak dalam bidang automotif juga sudah mulai menunjukkan hasilnya. Paling tidak, sebuah rumah kecil akan dibelinya akhir tahun ini. Pekerjaan Wanda sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor keuangan pun memiliki masa depan yang cukup cerah.
Di depan kantor catatan sipil, Salim membelokkan motornya dan kemudian memasukkannya ke tempat parkir. Wanda melepas helmnya dan menyerahkannya pada Salim yang kemudian meletakkannya di atas motor. ”Nda, Mas udah bilang ke kamu kalau mama pengen kita pakai adat Chinesse nanti?” kata Salim.
Wanda mendongak, menatap Salim yang jauh lebih tinggi darinya. Matanya yang besar kian terbelalak kaget. ”Kok bisa begitu? Bukannya Mas tahu kalau ibu pengen pakai adat Jawa? Nggak mungkin lah Mas aku pake adat Mas. Bilang apa bapakku nanti?” kata Wanda mencoba memberi alasan.
”Iya, Nda. Mas juga ngerti, tapi mama pengen paling tidak kita ke klentheng mama yang biasanya. Itu nggak ada hubungannya sama agama juga kok, Nda”, jawab Salim membela diri.
”Ibu sudah pesan uborampe pernikahan, Mas. Kenapa mama baru bilang sekarang? Kita udah di depan sini, mau daftarin tanggal nikah yang tinggal bulan depan. Dan sekarang tiba-tiba Mas pengen mengubah semuanya?” kata Wanda bersungut-sungut. Pipinya mulai memerah tanda marah, Salim hapal sekali.
”Nda, Mas tidak bilang kalau mama mau merubah semua. Mama cuma pengen, setelah acara utama, kita berkunjung ke klentheng”, kata Salim mencoba sabar.
”Mas…Klentheng, jilbab dan kebaya memang bisa jadi satu ya?” tanya Wanda. Salim mencoba menjawab tapi tidak tahu mau berkata apa. Salim diam, matanya menyiratkan sejuta makna.
*******
* Favorit Story dalam Lip Ice Selsun National Writing Awards 2009

Leave a comment