Takdir itu ada ketika kita memilih…
Karenanya takdir itu bukanlah sesuatu yang harus kita jalani,
tetapi takdir itu adalah sebuah perjudian akan hidup
dari sebuah pilihan yang telah kita buat.…
Motor kubelokkan ke arah kampusku yang merupakan sebuah universitas terbesar di kota Gudeg ini. Jalanan kampus sudah ramai dengan kendaraan bermotor juga bus-bus yang memadati ruas jalan sempit ini. Nampak banyak mahasiswa yang menuju kampus mereka masing-masing, entah dengan niat tulus ingin menuntut ilmu atau sekedar ingin mengisi absensi. Motorku hari ini terasa tidak beres, jalannya sesekali tersendat, sesekali terdengar bunyi letupan dari knalpotnya. Batuk? Kulihat jam tanganku, setengah jam lebih dari jam kuliah yang seharusnya. Sambil belok masuk ke arah pelatan parkir, aku melihat seorang gadis cantik dengan tubuh bak peragawati, kurus tinggi langsing dengan rambut ikal yang baru saja aku lihat modelnya di majalah Gadis minggu ini, keluar dari sebuah mobil sedan. Aku melotot sebentar. Mercy keluaran paling baru. Merinding rasanya, ketika di luar sana banyak orang terkena bencana banjir atau berada di pengungsian Merapi, di sini masih ada orang kaya yang menumpuk uangnya sebegitu banyak dan menghamburkannya untuk sebuah mobil. Ckckck…. Aku memarkir sepeda motorku di depat loket jurusan dan segera berjalan menuju ruang kuliah. Kali ini di ruang kuliah umum yang sangat besar, non-AC dan yang jelas tidak memadai. Dengan agak tergesa aku menaiki tangga dua-dua, di depanku ada dua orang mahasiswa yang nyentrik. Yang satu, berkacamata tebal dengan kemeja bermotif sarung seperti sarung milik bapakku, memakai sepatu kulit usang dan tas yang sudah jebol di sana-sini. Gayanya benar-benar mirip Pak RT di kampungku. Yang satu lagi berambut gimbal dan berkaos merah, gaya punk abis dan memegang rokok di tangan kiri. Heran, kenapa di dalam satu kampus ini ada begitu banyak karakter orang. Lucunya mereka masih juga akur di dalam kampus. Aku mendahului mereka karena sudah telat lumayan lama.
Sewaktu masuk ke dalam kelas, dosen sudah berkoar-koar di depan kelas. Lebih nampak seperti itu daripada disebut menerangkan. Sementara itu nampak beberapa mahasiswa yang dengan tekun mendengarkan dan sebagian besar sibuk dengan hp, mp3 player, komik atau teman di sebelahnya daripada mendengarkan si dosen. Di ruangan sebesar ini memang sangat tidak memungkinkan untuk 100% mendengarkan perkataan dosen yang sebenarnya juga sudah tidak begitu jelas karena usia dosen itu yang sudah uzur. Jadi wajar sajalah kalau keadaannya seperti ini. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas, that’s her! Prista, my best friend tepatnya. Dia kelihatan sibuk dengan sms di hp-nya.
“ Hei! Pagi-pagi kok udah mbojo? Siapa lagi korbanmu kali ini?” kataku sambil duduk di kursi sebelahnya.
“ Morning, Rien. Bajumu bagus…,”jawabnya setelah melihatku dan kemudian mencium pipiku,” Dan tentang mbojo, i’m single, ok? Jangan merusak pasaranku ya? But, Rien…You know what?”Aku melihat Prista yang memang kelihatan segar sekali pagi ini, pasti dia sedang senang. Sambil mengeluarkan binder dari dalam ransel, aku mengangkat bahu tanda gak tahu. Prista meringis senang.
“Surprise, surprise, Rien! Rendy ngajakain aku dinner, tonight! Rencananya sih di Omah Dhuwur, tapi sebodho! Yang penting sama Rendy!, Aku melayang, Rien…,” kata Prista senang. Aku melengos, gak senang dengan kabar ini. Rendy, mahasiswa kedokteran semester 5 itu memang punya segalanya yang diinginkan Prista, termasuk mobil dan gelar calon dokternya. ”Pris, jangan bilang aku nggak pernah ngingetin kamu kalau Rendy itu licin kayak belut. Susah naklukin dia, apalagi pacaran sama dia. Aku gak mau kamu sakit hati kayak cewek-cewek yang lain”, kataku.
“Yaa, siapa tahu kali ini dia bisa takluk sama aku. Katanya, dia dulu setia banget lho sama ceweknya, tapi semenjak ceweknya mutusin dia, dia trus berubah gitu! Cuma gonta-ganti cewek tapi gak mau pacaran. Aneh ya? Siapa sih cewek beruntung itu?” kata Prista serius sambil menatapku. Andai Prista tahu kenyataan yang sebenarnya. Hanya saja aku tidak mau Prista sakit hati, tidak tega melihat gadis rapuh ini tepatnya, jadi lebih baik aku diam saja melihat semua sandiwara konyol ini berlangsung.
Seusai kuliah, aku mengantar Prista ke butik, hunting baju buat nanti malam katanya. Mobil Honda Jazz pink milik Prista meluncur dengan mulus di jalanan Jogja. Setelah dua jam dan empat kantung belanjaan di jok belakang, dia baru mengembalikan aku ke kampus dan dia sendiri mau ke salon untuk creambath. Sedangkan aku? Pergi ke perpustakaan seperti biasanya.
Aneh rasanya melihat aku dan Prista bisa begitu cocok. Prista yang anak pengusaha minyak dan aku yang anak dari pegawai negeri bisa begitu akrab. Prista dan segala kehidupan mewahnya tidak pernah menghalangi persahabatanku dengannya, justru kami saling melengkapi. Hanya saja bedanya, Prista bisa membeli baju di butik seminggu dua kali dan aku mungkin baru membeli baju dua bulan sekali, itu saja kalau ada acara penting.
Setelah mengecek nomor rak buku yang aku cari di komputer pencari, aku segera sibuk dengan tumpukan-tumpukan buku di sudut perpustakaan.
Tiit..tiit…Handphoneku berbunyi, satu pesan diterima.
“Sudah makan, Say? Miss u…”
Aku tersenyum membaca pesan itu. Kalimat yang sudah ribuan kali diucapkan, tapi untukku tetap saja itu kalimat paling romantis yang pernah ada. Norak banget ya? Kayak jaman SMA saja. Aku tersenyum sendiri membaca sms itu. Tanpa aku sadari ada seseorang di belakangku, dia menyentuh bahuku.”Rien…”, katanya. Aku terdiam. Kaget, senang sekaligus takut. You know what? Beberapa tahun lalu aku menganggap suara ini adalah suara paling seksi yang pernah ada. Aku menoleh. Yup, pemilik suara ini juga adalah makhluk tertampan yang pernah aku lihat. Sebelas dua belas dengan Ari Wibowo. Aku tidak pernah menemukan sesuatu yang kurang dalam penampilannya. Tingginya 177 cm, berat ideal, kulit putih, rambutnya tebal dan rapi. Hari ini dia memakai kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku berwarna putih bergaris. Dan parfumnya, sampai detik ini membuat aku setengah melayang dari lantai. Mungkin beberapa tahun lalu aku bisa sesak nafas dibuatnya, tapi kali ini aku bersyukur karena aku terlihat tegar, bahkan tidak limbung sama sekali.
“Rendy…”, ucapku lirih.
“Rien…Lama banget kita gak ketemu. Sebulan mungkin? You looks beautiful today, dari hari ke hari kamu nampak semakin cantik. Beruntung sekali orang itu, Rien!” kata Rendy sambil menatapku lekat-lekat. Aku mengalihkan pandangan dari Rendy, berpura-pura sibuk memilih buku di rak. Padahal lututku gemetar gak karuan. Oh My God, matanya berbinar-binar, masih seperti dulu, sama sekali gak ada yang berubah. Bahkan kalau aku boleh jujur, dia semakin tampan.
“Sudahlah, Ren. Jangan mulai lagi. Kamu tahu sekarang gimana posisiku khan? Tolong hormati aku! Dan satu lagi, seriuslah dengan Prista, she’s my best fiend!” kataku ketus. Rendy diam saja. “ Trus, kok kamu bisa kebetulan ada di sini?? Kukira perpustakaan fakultasmu jauh lebih bagus dari ini kan?” selidikku lagi.
Rendy menunduk lalu berkata, “Aku mengikutimu dari kampus, Rien. Sejak tadi pagi”.
“Astaghfirullah, Ren”, kataku. Walau sebenarnya hatiku berbunga-bunga tapi aku tidak ingin Rendy seperti itu.”Ren, it’s been a long time ago! Kamu nggak bisa kayak gini terus, kamu mesti maju, Ren. Kamu tahu khan kalau kita tidak mungkin lagi kayak dulu? Mustahil, Ren!” kataku setengah emosi.
“Please, Rin. Dulu memang aku yang salah, tapi aku nyesel banget, Rien. Aku selalu berharap bisa menjadi pria beruntung itu, yang bisa menjaga kamu sampai nanti, Rien. Memiliki kamu…” kata Rendy kelu. Nafasku sekarang benar-benar sesak, air mataku hampir keluar. “Kamu beruntung, Ren! Kamu punya segalanya, tampan, kaya, pintar. Banyak wanita tergila-gila padamu. Kenapa harus aku, Ren? Aku gak punya apa-apa yang bisa aku kasih ke kamu. Please, aku cuma minta satu. Seriuslah dengan Prista, ok?” kataku sambil meneteskan air mata. Pertahananku hampir jebol.
“Yang aku inginkan di dunia ini cuma satu, cuma kamu, Rien. Aku gak pengen hal yang lainnya. Dulu kamu ninggalin aku, itu salahku yang nutup-nutupin semuanya dari kamu. Tapi aku nyesel, Rien. Kamu satu-satunya orang yang pernah aku cintai sampai saat ini, bahkan aku tidak berminat berpacaran dengan gadis lain. I’m waiting for you, Rien. Dan perlu kamu tahu, Rien. Aku ngedeketin Prista buat ngedeketin kamu. That’s all!” jawab Rendy.
“Kamu keterlaluan, Ren!” teriakku. Pertahananku jebol. Aku berlari keluar perpustakaan. Aku segera naik ke atas sepeda motorku dan mencoba menstarternya. Rendy mengejarku dari belakang. Aku sebisa mungkin segera menghidupkan motorku. Aku capek. Selalu saja capek setiap ketemu Rendy. Semua kenangan masa lalu kami seakan berputar-putar di kepalaku. Dan satu kenyataan pahit, he still waiting for me…
“Rien…” teriak Rendy, “Please, Rien…”. Rendy memegang lenganku.
“Aku yang bilang please sama kamu kali ini, Ren.Aku mau pulang, Ren. Aku capek berdebat denganmu. Setiap kita bertemu kenapa kita gak bisa ngobrol layaknya sahabat? Kamu selalu meminta hal yang gak mungkin! Aku mau pulang…” kataku. Kukibaskan tanganku dan kularikan motorku keluar dengan cepat. Dari spion aku melihat Rendy tercenung melihat kepergianku. Dia hanya diam saja. Melihatnya seperti itu, hatiku hancur.
LLL
Rendy adalah cinta pertamaku di SMA. Dan aku juga adalah ceweknya yang pertama. Setelah masa perploncoan selesai, kami resmi pacaran. Rien dan Rendy, the best couple in the school. Semua orang tahu tentang betapa cocoknya kami, Dari satpam, ibu kantin, para guru samapi kepala sekolah tahu betapa serasinya kami. Aku begitu mencintainya. He’s got everything. Tapi itu bukan alasan kenapa aku jatuh cinta padanya. Aku mencintai semangatnya untuk maju, mencintai ketekunannya, mencintai kekeraskepalaannya. Dan satu lagi, aku sangat yakin bahwa dialah jodohku. Rendy adalah takdirku. Entah kenapa, tapi keyakinanku ini muncul setelah suatu malam aku bangun untuk shalat tahajud. Setelah itu aku wiridan dan ketika selesai, aku kembali tidur. Setelah itu aku selalu memimpikan Rendy. Aku menikah dengan Rendy. Mimpi yang sama berulang sampai tiga kali setiap aku selesai shalat tahajud. Semenjak itu, aku yakin. Rendy is my destiny.
Lulus SMA, dia masuk kedokteran dan aku masuk ke komunikasi. Aku sudah berfikir bahwa aku akan menjadi istri seorang dokter waktu itu. Tiga bulan kemudian aku mendapat kabar bahwa Rendy selingkuh. Aku mencoba mencari kebenaran informasi itu. Kuikuti Rendy kemanapun dia pergi. Dan sebuah fakta terungkap. Sebulan penuh, setiap pagi dia menjemput seorang gadis di sebuah rumah kontrakan yang berada di daerah Pogung. Dan setiap siang, Rendy mengantarnya pulang. Benar kata orang-orang itu. Rendy selingkuh dengan kakak angkatannya. Kuakui, gadis itu memang cantik sekali, wajahnya kearab-araban dan berjilbab. Aku sakit hati. Rendy yang kusangka jujur ternyata seorang penipu. Aku marah besar. Aku minta putus melalui sebuah surat. Dia berusaha menghubungi aku melalui telephone, surat dan sms yang tidak pernah aku baca karena aku membuang sim card dan juga semua suratnya. Gedorannya di pintu rumahku juga tidak aku pedulikan karena aku sudah bilang pada bapak dan ibu untuk tidak membukakannya. Akhirnya kami kehilangan kontak. Rendy juga marah atas perlakuanku rupanya. Apalagi aku kerap meneror kakak angkatannya itu dengan surat kaleng. Perbuatan yang bodoh sebenarnya. Tapi aku terlanjur marah dan menjadi kehilangan akal sehat waktu itu.
Enam bulan kemudian tanpa sengaja aku bertemu dengan Rendy di sebuah toko buku besar di Jogja. Kami kemudian memutuskan untuk ngobrol di coffe shop di sebelah toko buku itu. Kami mengingat tentang masa lalu kami. Tiga tahun penuh kenangan itu kami bongkar kembali. Dan sebuah kenyataan pahit terungkap.
Rendy bercerita tentang gadis itu ketika kutanya sudah punya pacar baru atau belum. Dia tersenyum, “Rien, aku gak pernah naksir mbak Nindy. Aku Cuma kagum pada kesolehannya dan takjub pada wajahnya”.
Aku cemberut. Rendy tersenyum, “Sebuah fakta, Rien. Aku memang menutupi bahwa aku dekat dengannya bahkan sering antar jemput dia kemanapun dia mau pergi. Bukan karena rasa apa-apa”.
“Udah, Ren. Kamu gak perlu membela diri. Aku udah menerima kenyataan itu kok. Aku udah ikhlasin kamu buat dia”, kataku. Bohong tentu saja. Mana mungkin aku ikhlas melepas satu-satunya pria yang pernah aku cintai?
“Rien…Dia mirip banget dengan mamiku yang meninggal sepuluh tahun lalu. Dan perlu kamu tahu, mbak Nindy itu cacat. Dia gak bisa leluasa berjalan seperti kita. Toh rumahku dekat dengannya, kenapa aku gak sekalian mampir ke kontrakan dia? Mbak Nindy juga udah punya tunangan di daerah asalnya, dia menikah bulan lalu”.Sumpah, waktu itu aku pengen banget nangis keras-keras. Aku nyesel banget, kenapa aku begitu egois pada Rendy? Kenapa aku gak mau ngedengerin semua pembelaan dia? Kenapa aku begitu terbawa emosi dan rasa cemburu? Lalu Rendy memintaku kembali padanya, bukan untuk menjadi kekasihnya tetapi sebagai calon istrinya. Tapi semua sudah terlambat. Aku gak mungkin kembali pada Rendy setelah semua yang terjadi. Aku menangisi nasib kami di coffe shop itu selama satu jam. Kami berdua tepatnya. Menangisi kebodohan kami dulu. Menangisi keegoisan masing-masing. Tapi nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi arang.
LLL
Hari sudah menjelang sore, aku memasukkan sepeda motorku ke halaman rumah. Kuletakkan tas ranselku di atas kursi teras dan kemudian duduk. Berat sekali hari ini. Tapi suasana di rumah begitu menenangkan. Suara tawa terdengar dari dalam rumah. Aku menghela nafas. Seorang pria keluar dari dalam rumah, dia menggendong anak berumur dua tahun yang lucu sekali. Ketika anak itu tersenyum, giginya yang baru beberapa kelihatan begitu menggemaskan. Pria yang menggendong anak itu juga tersenyum bahagia.
“Rien, udah pulang? Mandi dulu sana lalu makan. Si mbok udah bikin sayur asem sama ikan asin kesukaanmu. Nanti baru kamu nyusul kita ke taman ya?” kata pria itu lalu mengelus rambutku. Aku mengangguk.
“Raka cium bunda dulu baru kita main ke taman ya?” kata pria itu lalu menyorongkan anak bernama Raka itu ke arahku. Dia lalu mencium pipiku lalu tertawa,” Bunda cepet ya? Raka tunggu”, katanya cadel sambil melambai padaku. Aku tersenyum melihat dua orang itu berjalan menjauh, mereka berdua malaikatku. Raka, putraku yang sedang luculucunya. Dan pria itu, mas Aryo, suamiku yang sangat kuhormati.
Tiga bulan semenjak berpisah dari Rendy, aku seperti ayam kehilangan induknya. Kemudian bapak menjodohkanku dengan seorang putra sahabat karibnya yang telah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Awalnya aku menolak mentah-mentah tapi setelah bertemu langsung dengan mas Aryo, akhirnya aku luluh juga. Mas Aryo juga baru berumur 25 tahun waktu itu dan aku 19 tahun. Ketika itu, ibu mas Aryo sudah sakit-sakitan dan beliau ingin segera menimang cucu dari putra semata wayangnya. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku akan nikah muda, apalagi aku baru mengenal mas Aryo selama 2 bulan. Tetapi aku tidak mau merasakan sakit hati untuk kedua kalinya. Aku terima lamarannya dan kami kemudian menikah. Ibu mas Aryo kemudian meninggal satu bulan setelah aku melahirkan Raka.
Ketika aku bertemu dengan Rendy tanpa sengaja di sebuah toko buku, hari itu tepat seminggu setelah pernikahanku dilangsungkan. Setelahnya, aku sempat berfikir untuk melarikan diri dari rumah mas Aryo yang juga kemudian menjadi rumahku. Mas Aryo pun tahu semua yang telah terjadi antara aku dan Rendy. Dia, bahkan, dengan besar hati mempersilahkanku untuk memilih. Tapi setelah aku renungkan, ini memang sebuah takdir yang harus aku jalani. Sebuah pilihan telah aku tetapkan. Pada mas Aryo, aku menggantungkan hidup dan perasaanku. Walaupun dia tidak setampan dan segagah Rendy, walaupun dia tidak bisa melucu seperti Rendy, walaupun dia tidak bisa bermain bola selincah Rendy, walaupun dia tidak setampan dan semenarik Rendy, walaupun senyumnya tidak pernah semenggoda Rendy, walaupun dia tidak sehebat Rendy dari berbagai segi, tapi aku menerimanya dengan ikhlas. Mencintai dan menerima kekurangan seseorang itu lebih mulia daripada kita mencintai kelebihannya. Dan aku kemudian lebih mencintainya karena dari dialah aku mendapatkan sesosok malaikat bernama Raka. Aku mensyukuri semuanya. Terkadang aku masih bermimpi untuk menjadi bu dokter atau tertawa terbahak-bahak ketika melihat Rendy terjatuh di lapangan basket. Tapi aku telah memilih.
Aku tidak pernah menyangka bahwa mas Aryo yang akan menjadi jodohku, bukan Rendy. Walau hidupku kini tidak pernah seindah yang aku bayangkan dulu, tapi hidupku tetap saja indah. Sebuah keindahan dalam bentuk yang berbeda. Aku tidak menyesali takdir Allah untukku. Karena takdir sebenarnya adalah pilihan yang telah kita buat, dan ini adalah pilihanku.
Tiit..tiit..Sebuah sms masuk, dari Prista. Segera aku baca sms-nya.
“aQ gak jadi dinner, mau ke rumahmu nengokin Raka. Aq udah males maen2 sama Rendy!”
Aku tersenyum lalu bergegas masuk ke kamar mandi.
SELESAI

Leave a comment