Am I a Shopaholic?

By

·

5–7 minutes

Untuk semua wanita di dunia dan semua orang yang mencintainya . . .

Sebagai seorang wanita yang tinggal di sebuah kota besar layaknya Jakarta, sudah tidak asing bagi saya keluar masuk tempat perbelanjaan. Mulai dari kelas Mangga Dua, Tanah Abang atau ITC Kuningan dimana saya bisa membawa pulang beberapa tas isi barang belanjaan berisi pakaian harga ratusan ribu atau kurang dari itu. Tidak hanya itu, selain kelas belanja ‘kasta biasa’, saya juga mengenal mall kalangan atas layaknya Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Senayan City atau Pondok Indah Mall dimana saya kebanyakan hanya ‘cuci mata’ dan ‘melihat tag harga’ saja karena kebanyakan harga pakaian, sepatu dan tas yang berderet harga lebih dari 6 digit bisa membuat buku tabungan saya jantungan dan masuk ICU. Namun herannya banyak sekali gadis remaja, mahasiswi ataupun ibu muda hingga tua yang wara-wiri di sana. Mungkin hampir setiap toko dijelajahi untuk memuaskan rasa ingin tahunya, memenuhi hasrat fashion hingga kemudian tertarik untuk membeli. Ada yang pulang dengan tangan hampa (seperti saya) atau cukup punya rejeki untuk menenteng beberapa tas belanjaan (yang jelas itu bukan saya).

Hampir setiap minggu peristiwa ‘melihat’ dan kemudian ‘membeli’ ini terjadi. Dan kebanyakan pelakunya adalah wanita. Baju harus matching dengan sepatu dan tas, koleksi di lemari harus sesuai dengan mode terbaru, atau tertarik dengan baju keluaran musim ini? Salah satu trik terbaru perusahaan perbelanjaan adalan membuat sale, mulai dari weekend sale, end month sale, end season sale hingga yang paling marak akhir-akhir ini adalah midnight sale dimana banyak sekali wanita yang rela bangun tengah malam untuk berbelanja baju dengan harga diskon selangit (tentu saja dengan strategi harga yang sudah dinaikkan sebelumnya).

Jujur saja, beberapa bulan ini saya mulai merasa ‘terlalu banyak melihat-lihat dan terlalu banyak menggesek kartu kredit saya’ sehingga saya membutuhkan sebuah bentuk self-healing yang selalu berhasil untuk saya yaitu merenungi sesuatu dan kemudian menuliskannya. Saya mulai browsing dan manggut-manggut membaca berbagai macam pendapat mengenai shopaholic. Sebuah pertanyaan besar muncul di otak saya: “am I become a shopaholic?” . Nah, apabila Anda seorang pria, coba perhatikan apakah adik, teman, pacar atau ibu Anda memiliki sindrom seperti di bawah ini? Apabila Anda adalah wanita, simak tulisan berikut ini dan mulai renungi diri Anda.

Apakah Saya Seorang Shopaholic?

Shopaholic merupakan sebuah term yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang addicted untuk berbelanja (compulsive buying disorder). Kebiasaan berbelanja ini kadang juga bisa dipengaruhi oleh mood, rasa khawatir, pelecehan di masa lalu dan eating disorder. Riset menyatakan bahwa 95% shopaholic adalah wanita usia 20an tahun ke atas.

Bagaimana ciri seorang shopaholic? Klinik Servo (2007) menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala sebagai berikut:
o Sangat bersemangat apabila merencanakan jalan-jalan untuk berbelanja.
o Menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki, meski tidak berguna
o Mood berubah-ubah, merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya dan sangat tertekan bila tidak berbelanja
o Lemari penuh dengan barang-barang seperti baju, sepatu atau alat elektronik yang tidak terhitung jumlahnya, bahkan mungkin masih lengkap dengan label harga di dalamnya.
o Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya
o Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Apakah Anda memiliki ciri-ciri di atas? Kalau jawabannya ‘ya’, simak tulisan berikutnya. Apabila tidak, jangan lega dulu karena ternyata yang disebut compulsive buying ternyata tidak hanya untuk orang-orang yang membelanjakan uangnya, namun termasuk orang-orang yang meluangkan banyak dari waktunya untuk melihat-lihat barang walaupun tidak membeli. Jadi, apakah waktu yang Anda luangkan di mall setiap minggunya lebih dari 6 jam walau tanpa membeli? Kalau jawabannya ‘ya’, simak paragraf selanjutnya.

Kebiasaan ‘melihat’ dan ‘membeli’ barang ini dipengaruhi oleh pencarian identitas dimana orang tersebut berusaha membentuk identitasnya melalui barang-barang yang dimiliki atau dikenakannya. Shopaholic atau compulsive buying disorder atau dikenal juga sebagai oniomania ternyata telah diidentifikasi oleh Kraepelin dan Bleuler sejak tahun 1915. Di tahun tersebut kedua professor ini telah melihat gejala dimana wanita suka keluar masuk pertokoan hanya untuk sekedar melihat dan bahkan membeli berbagai barang yang belum tentu mereka butuhkan. Di jaman tersebut ternyata wanita menjadi aktor utama dan juga tersangka utama ‘over buying’ . Dan hingga saat ini pun wanita masih menjadi mayoritas pelakunya dan hanya sedikit sekali pria yang suka berbelanja, bahkan prosentasenya tidak lebih dari 5%!

Oke, saya mencoba mencermati definisi shopaholic di atas dan mulai sedikit lega bahwa:
1. Saya suka jalan-jalan dan tentu saja merencanakannya dengan baik, tapi bukan untuk berbelanja melainkan untuk menikmati suasana baru, makanan baru, teman-teman baru dan berbelanja hanya menjadi salah satu added value buat saya, bukan menjadi tujuan utama.

2. Saya tidak pernah, catat: TIDAK PERNAH, merasa bahagia setelah berbelanja (apalagi apabila saya berbelanja dalam jumlah banyak dan terpaksa sekali lagi menggesek kartu saya). Justru dalam hal ini saya akan menjadi stress karena harus mengeluarkan uanga sejumlah tsb dan saking stress nya saya harus melakukan self-healing . Terdengar berlebihan, but yes it’s happen. .

3. Saya selalu berfikir ulang ketika akan masuk sebuah tempat belanja, apakah tempat ini worth untuk dikunjungi dan menghabiskan sekian jam waktu dalam hidup saya hanya untuk sekedar melihat-lihat dan berbelanja? Ketika memutuskan untuk membeli barang pun saya berfikir panjang dan berdiskusi dengan logika saya sendiri: untuk apa barang yang akan saya beli ini? Kapan akan saya gunakan? Apakah saya sudah mempunyai barang seperti itu dalam jumlah yang cukup? Apakah saya benar-benar membutuhkannya? Apakah barang ini hanya akan menambah tumpukan di lemari saya saja? Apabila jawaban yang saya dapat dari logika saya cukup positif berarti saya akan membelinya dan tidak hanya menuruti nafsu ‘memiliki’ dan ‘membeli’ saya yang cukup besar.

4. Salah satu jurus yang paling ampuh buat saya untuk menekan nafsu belanja saya adalah membuat list barang apa saja yang sudah saya beli bulan ini dan berapa harganya. Saya jumlahkan dan kemudian saya berfikir kembali, apakah saya cukup bijak telah membeli barang-barang tersebut dengan nominal sebesar itu?

5. Terakhir, saya selalu membuat list barang yang akan saya beli di masa depan sehingga membuat saya harus menabung dalam jumlah cukup besar, misalnya: televisi, kamera SLR, travelling plan, etc. Dan ini membuat saya mengurungkan niat untuk membeli.

Saya akhirnya cukup lega bahwa saya belum cukup bisa dibilang shopaholic karena saya cukup logis dalam berbelanja. Hanya saja saya sudah masuk dalam golongan orang yang suka melihat-lihat hingga beberapa jam setiap minggunya dan saya hampir bisa dikatakan masuk ke golongan compulsive buying. Sebuah penyesuaian baru yang saya lakukan untuk membentuk identitas saya di kota besar ini mungkin. Dan saya baru menyadari, untuk apa saya mencoba membentuk identitas baru saya? Saya menyukai diri saya sendiri, diri saya yang lama dan tidak perlu untuk saya membentuk identitas baru untuk saya dan saya ingin orang lain menyukai diri saya apa adanya.

Tulisan ini saya tujukan ntuk teman-teman yang selalu meminta saya memberi advice untuk mengatur keuangan dan selalu mengeluh bahwa tabungannya dihabiskan begitu saja tanpa tahu kemana perginya. Bahwa saya sedikit demi sedikit masih terus berusaha memperbaiki cara saya mengelola keuangan. Please, be happy of being yourself. There’s no need to make another people happy because you are not being yourself. Cheers up, girls!

(Silahkan membaca tulisan lainnya di http://www.inaratriyana.wordpress.com )

Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Shopaholic
http://en.wikipedia.org/wiki/Compulsive_buying_disorder
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1805733/?tool=pmcentrez
http://female.kompas.com/read/2010/02/23/09345986/5.gejala.shopaholic

Leave a comment