I still can’t believe it. Today is the day. The day when I should (or must?) leave Ireland for good, back to Indonesia and come back to the real life (or the unreal one?). Six months were definitely not long enough to know one place, but for me, these few months has been such an amazing experience which I will not forget.
Ketika pertama kali datang ke Ireland, saya tiba di Dublin Airport dan menggigil kedinginan diterpa angin musim panas dengan temperatur sekitar 17 derajat celcius. Ya, musim panas. Dan hari ini saya berdiri di tengah malam musim dingin dan dihadapkan pada kenyataan bahwa saya (mau tidak mau) harus pergi. Cuaca di Ireland memang dinginnya luar biasa. Dengan jumlah derajat yang sama, apabila dibandingkan rasanya Ireland bisa jauh lebih dingin dikarenakan angin dari samudera tetangga yang luar biasa. Saya menggigil, bukan karena dingin tapi karena rasa linu di hati saya menyadari bahwa ‘saya harus pulang’.

numpang narsis

Saya datang dalam kondisi sedih karena (harus) meninggalkan anak-anak saya yang masih bayi dan hari ini saya akan kembali ke Indonesia dalam keadaan sedih karena saya ternyata begitu menikmati tinggal di sini. Ireland, sebuah Negara terpencil di tengah samudera atlantik dengan hujan angin dinginnya ternyata memiliki pesona yang sulit untuk diungkapkan. Alamnya begitu cantik (mungkin Bahasa persisnya masih perawan) dan alami. Di sisi lain, Irish people begitu hangat, bahkan di antara banyak Negara Eropa yang saya kunjungi, saya bisa mengiyakan sekarang kenapa beberapa teman mengatakan pada saya bahwa orang Irish itu orang Jogjanya Eropa. Mereka memang hangat sekali dan baik banget (mungkin kecuali beberapa bus driver *pengalaman pribadi*). Tipikal orang Irish yang sangat saya sukai adalah mereka selalu memberhentikan kendaraan saat kita akan menyeberang jalan (walaupun kitanya berhenti supaya mereka bisa jalan duluan, mereka insist supaya kita jalan duluan, piye tho??), selalu menyapa terlebih dahulu dimanapun kapanpun, beberapa kali mereka membantu membawakan koper saya, membayari ticket bus (saat saya sedang kehilangan uang), menyuruh saya maju terlebih dahulu di antrian supermarket padahal mereka lebih dulu antri, etc. Saya menikmati kebaikan hati mereka.
Saya menatap kenyataan bahwa visa sudah expired per hari ini, scholarship sudah usai dan banyak deretan hal yang harus saya lakukan setibanya di Indonesia (termasuk wisuda dan mencari pekerjaan *wink* iya kerja, saya khan butuh duit juga buat beli tas baru *loh?*). Saya duduk di ruang tunggu Dublin Airport, menulis blog sambil mengingat semua pengalaman manis dengan teman-teman baik yang saya temui (dan saya harap akan saya temui kembali di masa yang akan datang). Teman-teman baik saya mengajarkan banyak hal tentang respek, percaya diri, kemandirian, keteguhan hati, dan juga kepedulian. Di tengah keawaman mereka tentang Indonesia dan Islam, mereka begitu support dan menghormati kepercayaan saya. Saking hormatnya, salah satu teman tidak berani bertanya maksud penutup rambut yang saya gunakan sehari-hari (alias jilbab) karena menurut dia tidak sopan menanyakan apakah itu bagian dari religion atau karena personal reason (misal penyakit). Di sisi lain, seorang teman lain berfikir bahwa jilbab saya adalah fashion style dan tidak sadar bahwa itu bagian dari kepercayaan saya.
Di Ireland, saya belajar bahwa dunia ini begitu luas dan ada begitu banyak hal yang masih harus saya pelajari dalam ilmu saya. Saya melihat begitu banyak sosok yang saya kagumi dan ingin saya ikuti jejaknya. Saya belajar bahwa kebaikan belum tentu dibalas, tapi tentu saja kita perlu terus berbuat baik karena saya yakin Tuhan yang akan membalas. Saya belajar bahwa tidak semua rencana berjalan sesuai dengan keinginan kita, bahkan ketika kita sudah mempersiapkan sebaik mungkin masih ada saja jalan untuk gagal apabila Tuhan menginginkan. Saya belajar untuk lebih spontaneous, dan tidak terlalu saklek akan sesuatu. Saya belajar untuk mendidik anak lebih mandiri termasuk membebaskan keinginan mereka dan tidak memaksakan keinginan kita. Saya belajar dari siapa saja, tua muda kaya miskin hitam putih etc. tanpa batas. Begitu banyak hal lain yang saya pelajari dan tentunya akan saya aplikasikan setibanya di Indonesia.

Hari ini adalah hari yang saya tunggu-tunggu selama enam bulan di Ireland tentunya adalah berjumpa dengan dua anak saya. Gio, 2.5 tahun, yang lagi pinter ngomong campur aduk Bahasa Indonesia-jawa-inggris. Zea, 1 tahun, yang lagi pinter jalan. Betapa menjadi seorang ibu itu anugerah yang luar biasa, saya hamil 9 bulan, dua kali dibelek perutnya dalam operasi caesar, saya menyusui dan merawat mereka setiap hari. Ketika saya mendapat kesempatan belajar di Ireland, saya bertanya kepada Tuhan, kenapa sekarang saya diberi rejeki untuk menuntut ilmu di negeri jauh? Kenapa bukan dulu saat saya masih single yang tentunya akan lebih mudah dan indah karena percayalah, berpisah dengan anak ribuan kilometer jauhnya bukan perkara mudah untuk hati seorang ibu. Dua minggu pertama saya menangis setiap hari teringat anak-anak saya. Anehnya, saya begitu menikmati dunia saya sebagai mahasiswa ketika saya bisa tidur pulas malam setelah mengerjakan paper, bangun pagi pergi ke kampus/library, ngopi dan nongkrong dengan teman seusai kelas dan traveling dikala senggang. Di sisi lain, saya merindukan masa ketika saya harus mengganti popok, menggendong anak yang sedang menangis, berjalan-jalan dengan anak di taman, menyuapi anak-anak saya, dll. Saya rindu sekali suasana itu. Dan saya rindu Jogja dengan angkringan dan makanannya.
Saya sadar bahwa Tuhan memberikan kesempatan ini untuk saya melihat dengan kacamata yang jauh lebih lebar dari sekedar belajar-traveling di luar negeri tapi untuk memiliki rasa tanggung jawab dan memanfaatkan waktu yang saya miliki sebaik-baiknya. Tentunya bekal pengalaman ini akan membentuk saya menjadi ibu, istri dan anak yang jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Terima kasih Ireland untuk enam bulan hembusan angin manis di kotamu.
Tunggu saya sebentar lagi, Indonesia, bakso, sate, bakmi, dll. Aku rindu.


Leave a comment